Selasa, 03 April 2012

Hukum di Masa Transisi


Hukum di Masa Transisi


I.    LATAR BELAKANG
Sejarah adalah kehidupan bangsa-bangsa dan kemanusiaan . Sejarah modern menyatakan tentang bagaimana sebuah peristiwa sejarah terjadi, apa yang menyebabkan terjadinya dan kekuatan apa yang menjadi pendorong terjadinya peristiwa tersebut. Dalam rangkaian peristiwa sejarah tersebut yang paling penting menjadi catatan dan pelajaran adalah seberapa besar event tersebut membawa pengaruh kepada jalannya sejarah ke masa depan dan kerusakan apa saja yang diakibatkan terhadap kemanusiaan.
Dalam wilayah hukum adalah perlu dicatat, hukum dan ketentuan apa saja yang telah ter langgar dan dilanggar dan kekuatan hukum apa yang perlu dipersiapkan agar tidak terjadinya peristiwa serupa.Sejarah tidak akan mencatat secara detail tentang pertanyaan-pertanyaan legal tersebut. Setelah sebuah masa sejarah berlalu, ketika terjadinya pergantian sebuah rejim, baik dengan cara damai atau kekacauan dan atau ketika perang yang tidak dikehendaki telah usai atau juga mungkin ketika kediktatoran yang massif telah dijatuhkan. Di dalamnya bukan hanya sejarah yang dicatat, tetapi akan memasuki wilayah konstitusi, hak asasi manusia, kriminalitas, korupsi dan lain sebagainya.
Tentu saja ketika itu semua usai, akan menyisakan para korban yang terlupakan atau telah dihilangkan dalam catatan sejarah (sengaja atau tidak). Baik itu dalam bentuk penghancuran property, nama baik, penghilangan nyawa, penculikan dan sebagainya. Sehingga dibutuhkan sebuah perangkat hukum yang mampu menjangkau semua pihak yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut, apakah  itu korban maupun pelaku pelanggaran hukum, baik hukum yang telah tercatat di negara tersebut dan atau bisa jadi statuta internasional yang belum di ratifikasi oleh negara bangsa tersebut.
.
Di Indonesia, mengapa masa panjang kediktatoran bisa terjadi dua kali berturut-turut dalam sejarah bangsa ini, adalah disebabkan sistem yang berlaku di Indonesia memberikan peluang kepada penguasa untuk menancapkan kuku kekuasaan yang sangat dalam, karena konsitusi memungkinkan hal itu terjadi. Sebagaimana sudah banyak dikemukakan oleh para pengamat tentang Indonesia, UUD 1945 memberi kekuasaan besar kepada Presiden dan Cabang Eksekutif pemerintah. Pasal 17, misalnya, memberi kekuasaan penuh kepada presiden untuk mengangkat dan membubarkan kabinet. Tidak ada ketentuan bahwa DPR harus menyetujui pengangkatan seperti itu. Sesungguhnya, Tafsiran UUD jelas menunjukkan bahwa presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, kecuali sebatas keanggotaan DPR sebagai anggota MPR. Bahkan dalam kasus perundang-undangan biasa, Pasal 22 memberi presiden kekuasaan untuk memerintah melalui peraturan pemerintah dalam hal “kegentingan yang memaksa”. Meskipun “peraturan pengganti undang-undang” ini harus disetujui DPR dalam sidang berikutnya, ketentuan ini dalam prakteknya telah memungkian presiden untuk menggunakan wewenang seperti itu untuk mengambil jalan pintas atau melompati badan legislatif.
Dalam bidang yang sama pentingnya berkaitan dengan badan peradilan, baik Pasal 24 maupun Pasal 25 UUD tidak menetapkan peradilan yang independen. Tanpa ketentuan seperti itu dalam UUD, badan peradilan tidak dapat bertindak sebagai pengawas murni terhadap cabang eksekutif yang kuat. Untuk menjalankan fungsi ini, badan peradilan harus mampu melaksanakan hak uji materi secara kuat dan independen atas tindakan pemerintah, dan menyeimbangkan antara pihak eksekutif yang selama ini kuat dan pihak legislatif yang baru saja diperkuat. Pengadilan juga sangat penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebebasan dan hak-hak individu sewaktu proses reformasi berlanjut. Individu harus bisa menggantungkan diri pada hak untuk memperoleh proses peradilan yang semestinya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Kebutuhan akan ketertiban umum harus diimbangi dengan penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang secara hukum dapat ditegakkan. Badan peradilan memerlukan modernisasi dan pemberdayaan sebagai suatu cabang pemerintah yang independen agar mereka dapat menegakkan hukum dan menjamin pemerintahan yang baik, bebas dari campur tangan atau korupsi. Efektivitas pengadilan dalam menjunjung hak asasi manusia dapat dengan mudah dirusak jika perlindungan atas hak-hak ini tidak dijamin dalam UUD. Pasal 28, yang mengatur kebebasan mendasar seperti kebebasan berkumpul dan berserikat serta menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan, merujuk pada kebebasan-kebebasan ini tapi tidak menjaminnya. Sebaliknya pasal ini hanya menyebutkan bahwa kebebasan-kebebasan ini akan ditetapkan dengan undang-undang. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah undang-undang pers di banyak negara, ini artinya hanya memberi sedikit perlindungan atau tidak ada perlindungan pada kebebasan-kebebasan tersebut.
Suatu pers yang bebas di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain, mutlak penting sebagai suatu pengawasan terhadap penyalahgunaan oleh pemerintah, apakah dalam bentuk korupsi atau penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang. Pers yang bebas dapat mengingatkan pemerintah akan meningkatnya rasa tidak puas agar pemerintah dapat melakukan tindakan koreksi tepat pada waktunya. Pemerintah yang menindas pers bebas akan terus hidup dalam ketakutan terhadap rakyat yang mereka perintah karena mereka tidak mempunyai barometer untuk mengetahui pendapat rakyat. Pers yang bebas dapat menyediakan suatu forum diskusi tentang masalah-masalah nasional yang besar dan suatu saluran untuk menyampaikan pandangan tentang masa depan Indonesia. Pers bebas merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi yang benar-benar pluralistik dan partisipatif karena hanya pemilih dengan cukup banyak informasi lah yang dapat melakukan pilihan bijak sana.
Indonesia sekarang mempunyai kesempatan untuk menciptakan suatu bentuk istimewa dari demokrasi. Jika rakyat Indonesia menciptakan suatu masyarakat di mana keputusan kebijakan nasional diambil melalui debat publik yang bijak, di mana para pemimpinnya dipilih lewat kotak pemungutan suara; di mana pemenang dan pecundang dalam pemilu menyingkirkan kepentingan pribadi dan partai demi kebaikan bangsa; di mana suara-suara yang berbeda diterima dan dianggap sangat penting untuk menguji keabsahan gagasan, maka Indonesia benar-benar akan menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia. Harus ada perimbangan antara wewenang pemerintah yang diperlukan dan kebebasan warga negara untuk mengejar kepentingan mereka sendiri dan menyatakan pendapat mereka tanpa campur tangan yang tidak perlu dari pemerintah, dan memengaruhi kebijakan publik.
James Madison menulis, “Seandainya manusia itu malaikat, pemerintah tidak akan diperlukan. Seandainya malaikat mengatur manusia, maka tidak akan diperlukan kontrol eksternal dan internal terhadap pemerintah. Tapi dalam menyusun suatu pemerintahan yang akan dijalankan oleh manusia atas manusia, kesulitan besarnya terletak di sini — anda pertama-tama harus membuat pemerintah mampu mengendalikan mereka yang diperintah, dan selanjutnya, mewajibkan pemerintah mengendalikan dirinya sendiri.” Ini tampak sebagai salah satu soal mendasar untuk dipertimbangkan di zaman reformasi.
Kondisi di atas dan dasar pemikiran tersebut, menjadi sebuah alasan yang penting agar paska terjadi masa-masa yang buruk bagi masyarakat sebuah bangsa bisa kembali mendapatkan keadilan dan hak-haknya yang dirampas. Dan di Indonesia setelah dilakukannya reformasi yang panjang tetapi bisa dikatakan hingga saat ini kita masih berada dalam masa transisi tersebut. Sedangkan setelah kejatuhan rejim yang lampau, bentuk keadilan yang diterima oleh korban-korban kebiadaban rejim tersebut belumlah terlihat. Untuk itulah  perangkat hukum masa peralihan atau masa transisi dibutuhkan, di negara di mana peristiwa sejarah tersebut berlaku, bagi kita tentu saja paska konflik di Indonesia, seperti Aceh, Papua, Ambon dan mungkin Timor Leste. Perangkat hukum ini biasanya disebut dengan istilah transitional justice.
II.    DASAR PEMIKIRAN
Transitional Justice adalah permasalahan yang sangat kompleks, sehingga dalam konstruksi nya haruslah mempertimbangkan prasyarat utama dari keberhasilan untuk mencapai rasa keadilan setelah terjadinya peristiwa sejarah yang merenggut banyak korban. Dalam bentuk moril dan materi. Beberapa pertimbangan tersebut disebutkan dibawa ini.
a. Hukum
Mengapa harus hukum yang di depan. Jawabannya adalah abadi, karena hanya hukum yang memiliki power untuk menjalankan sebuah proses untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas secara memuaskan bagi semua pihak. Hal ini juga mengharuskan hukum menjadi dokumen tertulis yang dibuat secara sadar, dengan perdebatan yang adil, pemikiran yang matang serta memiliki standar moral dan prinsip yang jelas. Sehingga penafsiran yang beragam dapat dihindari.
Satu hal yang paling penting diingat dalam pembentukan karakteristik hukum adalah apa yang dikatakan Socrates; ”… in that case, we should not neither act unjustly in retaliation nor to anyone in the world no matter how we’ve been treated by them.” ( … dalam hal itu, kita tidak akan melakukan tindakan secara tidak adil dalam pembalasan, tidak melukai siapapun di dunia ini, tidak menjadi masalah seburuk apa mereka memperlakukan kita).
Hukum atau law adalah hubungan keter-ikatan dan efek antara satu hal dan lainnya, sebagai subjek sebuah keinginan, sebagai motif dari sebuah tindakan dan setara sebagai perintah dan larangan. Sesuatu yang subjektif dan arbitrari dalam artian literalnya dan mengekspresikan bahwa kita dan hal-hal di luar kita memiliki ketergantungan. Sedangkan yang biasa juga kita anggap sebagai hukum adalah peraturan atau rule memiliki makna yang mirip secara prinsip yang biasa kita ungkapkan ”no rule without exception.”  Tetapi kita tidak akan mengatakan ”no law witout exception.” Sehingga rule diartikan sebagi pendorong dalam hal yang partikular saja,  sedangkan Law adalah mencakup seluruh kebenaran. Karena pepatah ilmiah mengatakan; ” Semua hukum-hukum agung dari suatu masyarakat adalah hukum dari alam itu sendiri.”
Tetapi hukum juga harus mempertimbangkan prinsip yang terkandung di dalamnya. Walaupun prinsip tidak memiliki artian definitif tetapi prinsip adalah ruh dan rasa dari hukum tersebut. Prinsip tersebut akan objektif apabila dihasilkan oleh kebenaran yang objektif dan konsekuensi nilai-nilainya akan sama bagi seluruh manusia. Dan prinsip yang subjektif hanya akan memberikan nilai yang partikular terhadap orang yang membuatnya.  Sehingga di dalam hukum, prinsip-prinsip yang terkandung harus lah prinsip yang universal, yunag akan bermanfaat bagi keadilan universal.
Sehingga sering dikatakan oleh ahli sejarah, salah satu keberhasilan utama dari Revolusi Amerika adalah penemuan prinsip-prinsip dalam hukum dan pemerintahan.
b. Legalisme
Legalisme adalah suatu proses analisis legal yang terpisah dan atau tidak bercampur dengan ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya.  Proses ini mendorong untuk membuat pembatas yang jelas antara hukum dan non-hukum, untuk merekonstruksi bangunan hukum yang rigid dan pasti. Prosedur ini bertujuan untuk mengisolasi hukum dari konteks sosial lainnya. Tentu saja yang saya harapkan ini terjadi setelah pembentukan hukum yang telah meninjau seleruk aspek dalam bentuk moralitas manusia, moralitas transedental, adat-istiadatdan nilai nilai universal lainnya. Sehingga hukum menjadi dokumen yang memiliki kekuatan ketika diinterpretasikan mengandung nilai-nilai universal yang agung. Hukum adalah institusi yang memiliki karakteristik yang unik, sejarah yang integral , ilmu dan nilai-nilai tersendiri. Yang diperlakukan sebagai ruang yang khusus dan seutuhnya terpisah dari dari sejarah umum, politik dan moralitas. Prosedur ini akan melayani kebutuhannya sendiri dengan baik, sehingga hukum dapat dilindungi dari pertimbangan yang tidak relevan dengan hukum itu sendiri. Sehingga dapat diartikan secara singkat sebagai; Law is dominant discours.
c. Hak Asasi Manusia
Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats). Menurut pemikiran Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights/fundamental rights).
Agar dapat selalu mengikuti perkembangan dan pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, maka sebuah konstitusi harus mempunyai aspek yang dinamis dan mampu menangkap fenomena perubahan sejarah (historical change), sehingga dapat menjadikannya sebagai suatu konstitusi yang selalu hidup (living constitution).
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama daripada wakil-wakilnya.
Hasil amendemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukkan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusi nya.
Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat The 2nd Founding Fathers serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.
Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tetuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.
Sebagaimana yang dicantumkan dalam poin V pada “Decalaration of the Rights of Man and of Citizens by The National Assembly of France 1889” yang bisa dikatakan adalah pokok dari hak-hak rakyat disebuah negara berbunyi: “Hukum adalah berkewajiban untuk melarang tindakan yang akan melukai dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum maka hal tersebut tidaklah ter larang untuk dilakukan; tidak juga seseorang boleh dipaksa untuk melakukan suatu tindakan yang mana oleh hukum tidak diperintahkan untuk dilakukan.”
c. Psikologi.
Psikologi yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan transitional justice tersebut adalah psikologi humanisme. Yang beberapa postulatnya sangat erat berkaitan dengan kemanusiaan itu sendiri, antara lain:
1.    Manusia, sebagai manusia mengatasi seluruh komponen kemanusiaan tersebut, mereka tidak boleh diperlakukan sebagai komponen atau sebagian saja.
2.    Manusia memiliki keberadaannya dalam konteks unik kemanusiaan. Sebagaimana dalam sebuah ekologi kosmis.
3.    Manusia adalah sadar. Dan mereka sadar bahwa mereka itu sadar, sehingga mereka adalah kesadaran. Kesadaran manusia selalu meliputi keawasan tentang diri sendiri dalam konteks masyarakat banyak.
4.    Manusia memiliki pilihannya sendiri dan dengan inti mereka bertanggung jawab.
5.    Manusia memiliki keinginan, bertujuan untuk mendapatkan hasil, mereka sadar bahwa mereka menyebabkan peristiwa di masa depan dan mencari makna, nilai dan kreativitas.
Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat dipaksa melakukan sesuatu atau dilarang melakukan sesuatu, karena mereka memiliki nurani dan kesadaran kemanusiaan, terkecuali bahwa hukum melarang atau memerintahkan mereka untuk tidak dan melakukan sesuatu.
Manusia telah sadar dan awas, bahwa semenjak mereka ter lahir, manusia telah memiliki sebuah rasa yang takut untuk melakukan kesalahan seta berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita-cita mereka sebagai manusia. Dan akan menghukum dirinya sendiri akibat kesalahan atau pelanggaran tersebut. Consciousness adalah fitrah kesadaran manusia. Tidak seorang dapat mengambil hak dasar tersebut dari kemanusiaan Manusia.
III.    TRANSITIONAL JUSTICE
Perangkat hukum di masa peralihan adalah trayektori yang jauh ke depan. Dalam rentang waktu yang relatif singkat, hal ini telah mendominasi perdebatan pada persimpangan antara demokratisasi, hak asasi manusia dan rekonstruksi negara paska konflik.
Transitional justice diartikan sebagai rangkaian proses dan mekanisme yang dilakukan dengan usaha komunal setelah terjadinya konflik yang berskala besar dalam rangka untuk menjamin akuntabilitas, keadilan dan memastikan tercapai nya rekonsiliasi. Bias dalam bentuk mekanisme yudisial atau non-yudisial. Dengan keterlibatan internasional atau tidak dan penuntutan individual, reparasi, kompensasi, pencarian fakta( truth seeking) reformasi institusional, pemeriksaan menyeluruh dan penghentian atau kombinasi dari beberapa usaha di atas.
Mengingat begitu kompleks nya transitional justice tersebut sangatlah dibutuhkan kajian maksimal untuk menghasilkan infrastruktur hukum yang dapat menjamin tercapai nya tujuan dari semua usaha tersebut yaitu keadilan.
Bagaimana kita memandang transitional justice pasca konflik yang sangat panjang di Aceh misalnya. Setelah tercapai nya kesepakatan damai, sudahkah seluruh pihak mendapat keadilan. Bagi pihak yang bersalah sehingga terjadinya konflik kemanusiaan tersebut haruslah mendapatkan keadilan dalam bentuk hukuman. Sementara korban dari kebengisan rejim atau pihak terlibat lainnya haruslah mendapatkan kompensasi dari kehilangan dan penderitaan yang mereka alami.
Suatu komitmen pada kejujuran, keadilan dan kemanusiaan harus juga menjadi bagian dari penyelesaian atas meningkatnya tindak kekerasan di Aceh, sebuah provinsi yang memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri. Sangat jelas bahwa akar dari masalah itu terletak pada penderitaan mendalam yang dirasakan banyak orang Aceh atas tidak adanya keadilan, baik dalam pertanggungjawaban atas kekejaman sekarang dan masa lalu di provinsi itu maupun dalam pembagian kekayaan alam provinsi tersebut. Untunglah, pemerintah Indonesia mulai berusaha menangani persoalan ini, dan untuk itu tidak mungkin hanya dengan penyelesaian militer murni. Suatu pendekatan politik dan sangat penting adalah pendekatan hukum yang berkelanjutan dan menyeluruh untuk menangani keluhan provinsi itu akan benar-benar membawa manfaat. Tindak kekerasan sewenang-wenang di sana oleh pihak mana pun, baik ditujukan kepada pasukan keamanan atau oleh pasukan keamanan itu sendiri, hanya akan mengorbankan rakyat Aceh dan memperpanjang tugas menemukan penyelesaian yang adil.Begitu juga yang terjadi di Timor Leste, di Papua dan di ambon misalnya. Sudahkah ada perangkat hukum yang kontekstual untuk penyelesaiannya.
Bagaimana bentuk legalise yang diinginkan dalam proposal ini sehingga transitional justicese  memiliki bentuk yang konkrit dalam pencarian keadilan tersebut.
A.    Legalisme sebagai pendorong.
Pengaruh nyata hukum dalam kehidupan politik dan sosial yang stabil telah nyata dirasakan. Kekuatan hukum dalam masyarakat industri telah memegang peranan yang teramat penting, masalah sosial, politik dan intelektual selalu berkaitan erat dengan legal world atau juridicial field.  Hukum tidak hanya mengatur perilaku, ini juga membentuk hubungan politik, bahasa bahkan cara kita berpikir. Hukum menghadirkan sebuah cara untuk mengkonseptualisasikan dan artikulasi bagaimana kita menginginkan dunia sosial itu dibentuk. Menumbuhkan keberanian untuk merasionalkan dan mengatur sebuah posisi di atas kesepahaman universal, sehingga membuat manusia bisa mengaplikasikan apa yang ada di dalam imajinasi
Formasi legal yang tumbuh selama masa transisi setelah konflik seperti konstitusi yang baru, penuntutan lokal, internasional atau gabungannya. Bahkan mekanisme pembentukan kembali kebenaran. Sebagain sebuah konteks legalisme menjadi sebuah simbol dan praktek yang penting yang memisahkan waktu dari masa lalu dan usaha untuk menemukan kembali legitimasi dan akuntabilitas. Dan penerapan serta penjaminan hak asasi amnusi memberika peluang untuk kembali mendapatkan perhormatan internasional setelah masa yang terkucilkan.
Sehingga kita bisa menjawab tantangan dari transitional justice yaitu untuk apa transitional justice tersebut dan untuk siapa ini perlu diadakanatau siapa yang akan dilayani oleh transitional justice?
B.    Legalisme diyakini sebagai kemenangan Hak Asasi Manusia
Lembaga-lembaga  hak asasi manusia sering untuk mendokumentasikan secara lengkap pelanggaran-pelanggarn yang terjadi di dalam masa konflik. Hal ini dikarenakan tidak dibentuknya terlebih dahulu perangkat hokum yang pasti untuk menjamin tercapainya hasil yang maksimal.
The Thriumph of Human Rights atau kemenangan Hak Asasi Manusia menjadi semacam senjata  tambahan untuk dimasukkan kedalam legalisme sehingg hokum dapat menjadi kekuatan yang tidak saja dapat menyelesaikan masalah pasca konflik tetapi juga  menjadi kekuatan preventif untuk pelanggaran di amsa yang akan datang.
C. Mendorong terbentuknya Pidana Sosial.
IV.    PENGEMBANGAN KRIMINOLOGI TRANSITIONAL JUSTICE
Kita akan sepakat jika dikatan bahwa kriminologi sejarahnya adalah berasal dari masyrakat normal (karena tidak mungkin kriminologi itu dibentuk oleh masyrakat penjahat atau pelanggar hokum).  Kriminologi adalah disiplin penemuan sebagaimana yang disampaikan oleh David Downes, sebagai subjek yang bertemu dengan disiplin ilmu yang lainnya. Karena kriminologi berada pada persimpangan yang sibuk antara sosiologi, psikologi, hukum dan filosofi. Sehingga krimologi akan dapat menumbuh kembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan untuk mencapai penyelesaian yang maksimal dari transitional justice.
Criminology  memiliki sejarah yang panjang dalam pencarian pemahaman yang lebih baik terhadapa kejahatan, dimana kejahatan adalah fenomena yang dibentuk oleh masyarakat secara social dan politis. Tentu saja para krimolog atau siapapun yang terlibat di dalamnya tidak hanya peduli terhadap kejahatan tetapi juga terhadap keadilan itu sendiri.
Kebutuhan untuk kebijakan yang lebih baik, pengadilan yang menyeluruh, penjara atau pemasyarakatan yang lebih baik, keberadaan pidana sosial. Karena tentu saja tujuan utama dari kriminologi selain pencapaian keadilan tetapi adalah bagaimana pihak yang bersalah dihukum secara pantas sesuai dengan asas legal dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Paine, Thomas, “Rights of Man,” Wordsworth Classic of World Literature, Wordsworth Edition, Hertfordshire, 1996
Von Clausewitz, Carl, “On War,”  Penguin Classic, London, 1982
McEvoy, Kieran, Beyond Legalism; Toward Understanding of Transitional Justice, Journal of Law and society, Vol.34 N0. 4, December 2007
Journal of Humanistic Psychology, Vol. 27 No. 2 , 2007
Plato, Dialogues of Plato, Bantam Classic, Bantam Dell, A Division of Random House, New York, May 2006
Plato, Symposium and The Death of Socrates, Wordsworth Classic of World Literature, Wordsworth Edition, Hertfordshire, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar